Singkawang, REAKTIFNEWS.COM
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) buka suara soal pembuatan sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang harusnya dilakukan secara gratis, tetapi masih ada warga yang diminta bayar.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana menyebutkan, program PTSL ini gratis mulai dari pengukuran tanah hingga penerbitan sertifikat tanah. Namun, di luar proses itu semua biayanya dibebankan ke masyarakat.
“Sekarang ada proses di luar itu, misalnya memasang tanda batas, kemudian menyiapkan surat-surat, kalau ada waris ya surat waris, ada juga jual beli bikin akta jual beli, bayar pajak, nah itu dibebankan kepada masyarakat. Jadi gratis itu semua biaya pemerintah dari proses pengukuran sampai menerbitkan sertifikat,” katanya, dilansir detikcom, Kamis (31/8/2023).
Suyus menuturkan, memang ada biaya yang boleh dipungut oleh pemerintah desa/kelurahan setempat dalam program PTSL ini. Namun, nominalnya harus sesuai dengan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, meliputi Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Untuk wilayah Jawa dan Bali biayanya Rp 150.000. Biaya tersebut digunakan untuk penyiapan dokumen, pengadaan patok, dan operasional petugas kelurahan atau desa.
“Pertama kan kita ada sosialisasi ke masyarakat, jadi kita sebelum proyek ini dilaksanakan, kita akan sosialisasikan ke masyarakat, kita jelaskan mana yang (bayar) Rp 150 ribu itu, mana yang gratis, mana yang harus disiapkan, mana yang lain-lain, kita ada anggarannya itu semua,” ungkapnya.
Jika memang ditemukan ada anggota BPN yang meminta bayaran lebih atau melakukan pungli (pungutan liar), kata Suyus, pihaknya akan memberikan sanksi kepada oknum tersebut. Menurutnya, karena program PTSL sudah berjalan sejak 2017, seharusnya orang-orang di lapangan sudah tahu bahwa pungli itu tidak boleh dilakukan dan akan diberikan sanksi bagi yang memungut biaya di luar ketentuan tersebut.
“Kita sudah informasikan untuk biaya yang diperbolehkan untuk kegiatan PTSL itu sesuai dengan SKB 3 Menteri. Apabila ada orang BPN yang melanggar ketentuan ini, pasti akan kita berikan sanksi,” pungkasnya.
Sebagai informasi, program PTSL ini memang dilakukan secara gratis untuk penyuluhan, pengumpulan data yuridis (pengumpulan berkas alas hak dan sebagainya), pengumpulan data fisik (pengukuran bidang tanah), pemeriksaan tanah, penerbitan SK Hak, pengesahan data yuridis dan fisik, penerbitan sertifikat, hingga supervisi dan laporan.
Di luar hal itu, maka biaya akan dibebankan ke masyarakat. Misalnya untuk penyediaan surat tanah (bagi yang belum ada), pembuatan dan pemasangan tanda batas atau patok, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jika terkena, dan lain-lain (meterai, fotokopi, letter C, dan sebagainya).
Sebelumnya diberitakan, salah satu warga Tangerang Selatan, Dito (nama disamarkan) mengaku telah mengikuti program PTSL pada 2017, namun sertifikat tanah tak kunjung keluar. Ketika Dito kembali mengurus hal itu di kelurahan sekitar tahun 2021, Dito diminta uang Rp 1 juta dengan alasan untuk biaya administrasi. Akhirnya sertifikat tanah itu terbit di tahun 2022.
Dari pengakuannya, ia mendapatkan informasi yang sama di beberapa kelurahan. Bahkan, biaya yang diminta pun bervariatif, ada yang Rp 5 juta bahkan Rp 10 juta.
“Memang harusnya gratis, tapi kelurahannya minta duit. Nggak tahu alasannya buat apa, entah itu administrasi atau apa,” katanya kepada detikcom, Kamis (31/8/2023).
Tak hanya Dito, pada 2019 sempat ada kasus juga di Kelurahan Cabe Ilir, Tangerang Selatan ketika seorang warga diminta untuk membayar Rp 2,5 juta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program PTSL.
“Bapak saya ikut program ini kan karena katanya gratis, tapi pas tanya ke RT ternyata harus bayar sekitar Rp 2,5 juta,” kata warga yang enggan disebut namanya, dikutip dari CNN Indonesia.
Jumlah itu, kata dia, cukup mahal ketimbang pungutan yang diwajibkan di RT-RT lain yang rata-rata berkisar di angka Rp 1,5 juta. Namun dari informasi yang ia ketahui, bahkan ada juga RT yang memungut Rp 3,5 juta untuk mengikuti program ini. (Zlf)