Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi: Tersangka “Alfa Alfa Tanggo”

by -1,207 views
ilustrasi sp3
Ilustrasi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). | reaktifnews.com

REAKTIFNEWS.COM, – Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tersangka perkara korupsi selalu mengundang kontroversi, perdebatan, dan menimbulkan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan.

Jika hal tersebut terjadi tentu saja ini sangat mengenaskan dan sekaligus, menunjukkan betapa buruknya sistem administrasi atau dokumentasi di lingkungan kejaksaan. Melihat pola pemberian SP3 yang biasanya dilakukan secara diam-diam dan tertutup itu semakin membuat senyum lebar para tersangka kasus korupsi di tanah air. Maka tidak heran dikenal adanya istilah “aman-aman terkendali” atau “alfa alfa tanggo”.

Mencermati beberapa pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah, pada akhirnya kita melihat bahwa pemberian SP3 itu mengarah pada suatu pola atau kesamaan satu sama lain. Paling tidak ada empat pola pemberian SP3 terhadap pelaku korupsi yang selama ini dilakukan kejaksaan.

Pertama, Penerbitan SP3 dilakukan secara diam-diam. Hampir semua pemberian SP3 dilakukan secara diam-diam tanpa adanya pengumuman lebih dahulu kepada masyarakat. Dalam beberapa kesempatan pihak kejaksaan selalu mengatakan tidak ada kewajiban bagi kejaksaan untuk mengumumkan penerbitan SP3 terhadap tersangka korupsi.

Namun pernyataan itu keliru jika dikaitkan dengan adanya keharusan bagi setiap penyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, khususnya asas transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN. Sebagai institusi penyelenggara negara, maka suatu keharusan bagi kejaksaan untuk mengumumkan kepada publik semua kerja yang dilaksanakan, termasuk dalam pemberian SP3.

Idealnya sebelum menerbitkan SP3 pihak kejaksaan harus mengumumkan kepada masyarakat disertai dengan alasan atau dasar pertimbangan. Paling tidak langkah ini dapat menunjukkan adanya akuntabilitas dan tranparansi dari kejaksaan dalam melaksanakan tugas atau wewenangnya, sekaligus membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan atau data-data pendukung yang dapat menjerat tersangka korupsi.

Kedua, pengumuman SP3 diberikan apabila telah tercium oleh publik. Hal ini bisa dilihat dari kasus korupsi dengan tersangka misalnya seperti saat Ginandjar Kartasasmita dan Sjamsul Nursalim yang penerbitan penghentian penyidikannya sudah tercium satu bulan sebelum diumumkan secara resmi oleh pihak kejaksaan.

Biasanya pihak kejaksaan akan mengumumkan secara resmi jika sudah beredar desas desus mengenai SP3 tersebut dikalangan masyarakat dan media. Tak jarang pula pemberitahuan penerbitan SP3 biasanya baru diungkapkan setelah rekan-rekan media meminta konfirmasi dari Jaksa misalnya di level pusat seperti Jaksa Agung maupun Jampidsus atau Kapuspen Kejaksaan Agung dalam suatu acara resmi yang tidak memungkinkan bagi para petinggi kejaksaan untuk “melarikan diri”.

Ketiga, SP3 diberikan kepada para tersangka korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar. Tersangka korupsi ini biasanya berlatar belakang pengusaha kelas kakap yang memiliki proteksi politik dari pejabat publik atau politisi yang memiliki pengaruh besar.

Keempat, pemberian SP3 dilakukan pada saat berkurang atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut. Hampir setiap pemberian SP3 selalu menimbulkan respon yang luar biasa di kalangan masyarakat. Untuk meminimalisir pressure dari masyarakat, pihak kejaksaan biasanya mencari waktu yang tepat atau waktu tenang untuk menerbitkan atau mengumumkan SP3.

Waktu tenang dalam hal ini diartikan sebagai waktu dimana masyarakat atau media tidak memberikan perhatian lebih atau khusus terhadap kasus yang diberikan SP3.

Hal ini bisa dilihat seperti misalnya saat pemberian SP3 terhadap Johanes Kotjo dan Robby Tjahjadi yang diberikan ketika orang telah mulai lupa atau tidak memberikan perhatian terhadap kasus korupsi dalam pemberian kredit Bapindo kepada Kanindotex.

Pada akhirnya siasat ini terbukti. Tekanan publik terhadap pemberian SP3 kasus ini tidak terlalu besar. Atau dengan maksud mengalihkan perhatian publik, muncul indikasi sebelum pihak kejaksaan menerbitkan atau mengumumkan SP3, biasanya pihak kejaksaan akan menaikkan atau memanfaatkan isu korupsi lain misalnya isu korupsi di DPRD atau penyelesaian kasus korupsi besar lainnya.

Selain empat pola yang telah diuraikan diatas, ada beberapa hal lain yang selalu dikaitkan dengan pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap para tersangka kasus korupsi, yaitu adanya dugaan kepentingan politis dan adanya indikasi suap (judicial corruption) dalam penerbitan surat ini.

Terkadang kita sendiri menjadi bingung, bukti apalagi yang harus kita serahkan kepada kejaksaan agar dapat menyeret koruptor ke pengadilan. Kita sendiri akhirnya curiga bagaimana nasib bukti-bukti yang ada terdahulu: masih ada ataukah sudah hilang? (RN-TIM)

Editor: TWA
Sumber: newsroom reaktifnews.com

No More Posts Available.

No more pages to load.