REAKTIFNEWS.COM, – Soeratin atau Piala Soeratin alias Soeratin Cup adalah sejarah pembinaan sepak bola usia muda Indonesia yang masih ada dan konsisten. Adalah sosok bernama Ir. Soeratin Sosrosoegondo yang menjadi tokoh di balik Piala Soeratin.
Soeratin adalah ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di era 1960-an. Pada 1965, Soeratin membuat turnamen sepak bola untuk anak-anak dan remaja berusia di bawah 18 tahun.
Merujuk dari laman resmi PSSI, Soeratin menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada 1927 dan kembali ke Tanah Air pada 1928. Saat kembali, ia bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta.
Di sana, Soeratin merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi itu. Akan tetapi, karena semangat nasionalisme yang tinggi, ia kemudian memutuskan mundur.
Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, dia menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda).
Soeratin kemudian melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda. Yang tak lain untuk sarana untuk menentang penjajahan Belanda di Indonesia.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID).
Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeratin bertemu dengan ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), Soeri dan juga pengurus lainnya. Dari sanalah lantas dimatangkan gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional.
Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno-red).
Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.
Kemudian pada 19 April 1930, bergabunglah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB – Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM – Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB – Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB – Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM – Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB – Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambil keputusan untuk mendirikan PSSI.
Tak berselang lama setelah berdirinya PSSI, sepak bola Indonesia akhirnya ikut berbicara di pentas dunia. Selang 7 tahun kemudian, Nusantara yang masih dalam kondisi dijajah Belanda ikut berpartisipiasi dalam Piala Dunia 1938 di Prancis.
Sejumlah negara seperti Jepang, Cina, Hongkong, hingga dataran Korea pun bertekuk lutut oleh talenta Indonesia yang waktu itu masih memakai nama East Indies. Nusantara kemudian dapat unjuk gigi di pentas dunia, karena mampu menjadi pionir bagi Asia untuk mengenal sepak bola.
Tahun 1940, merupakan saat dimana Soeratin pindah ke kampung halamannya di Bandung dan jabatannya sebagai Ketua PSSI diambil alih oleh Artono Martosoewignyo. Ketika itu, kehidupan Soeratin menjadi serba sulit. Rumahnya sempat diobrak-abrik tentara Belanda, karena aktif dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dianggap musuh.
Pengabdian Soeratin bagi bangsa pun masih besar di hari tuanya. Dia menyanggupi permintaan Ir. Djoeanda untuk memimpin Djawatan Kereta Api (DKA) pada 1949. Akan tetapi, dengan tubuh yang semakin renta, pekerjaan itu sedikit berat. Apalagi, ketika itu perjuangan fisik melawan Belanda terus terjadi.
Setelah sekian lama sakit dan tidak mampu menebus obat, kisah hidup Soeratin semakin mengenaskan. Ia harus rela dalam kesulitan ekonomi hingga akhir hayat.
Tidak ada yang ia tinggalkan, kecuali organisasi yang sangat dicintai, yakni PSSI. Organisasi besar yang menjadi media perjuangan bangsa.
Soeratin meninggal dunia pada 1 Desember 1959 pada usia 60 tahun. Dia memilih untuk hidup tenang di sisa umurnya.
Sampai tahun ini, PSSI telah menjadi bagian dari kehidupan sejarah panjang Indonesia. Soeratin memang sempat meramalkan bahwa PSSI tidak pernah lepas dari persoalan, karena setiap kepengurusan pasti mempunyai pandangannya masing-masing.
Soeratin hanya ingin memperjuangkan semangat puluhan juta pemuda Nusantara demi meraih kewibawaan dan harga diri Indonesia. Dia ingin memberi dan mengalirkan gagasan agar makna sesungguhnya dalam sepak bola dapat jadi warisan emas bagi anak cucu bangsa.
Jasanya dalam persepak bolaan nasional diabadikan dalam nama trofi yang diperebutkan dalam kompetisi sepak bola junior tingkat nasional, yakni Piala Soeratin. Terima kasih Ir Soeratin. Engkau telah menetapkan pondasi dasar untuk sepak bola Indonesia.
Engkau juga telah menginspirasi untuk mengangkat kebesaran bangsa lewat sepak bola. Sepak bola terbukti bisa menjadi pemersatu. Karena saat di lapangan, bahasanya satu, bahasa sepak bola. (TIM-RN)
Editor: TWA
Sumber: www.pssi.org