REAKTIFNEWS.COM, SINGKAWANG – Selain sebagai anekdot, mungkin perut buncit sahabat saya yang sering disapa “lek Bagong” itu merupakan salah satu bentuk karunia yang Ia miliki.
Laki-laki bersahaja ini juga sosok yang sudah tidak asing dengan dunia politik. Lek Bagong ini juga sadar, bahwa politik di tanah air dan bahkan di Kota Singkawang juga menganut hukum rimba. Kenapa begitu, lek Bagong bilang, siapa yang kuat dia yang berkuasa, siapa yang punya kekuasaan lebih besar dialah yang mengatur semuanya.
Tapi justru yang paling berkesan bagi saya dari penjelasan lek Bagong adalah justru soal pengaruh politik, apa lagi kalau bukan perihal kekuasaan.
“Pengaruh yang sangat besar politik adalah kekuasaan. Pengaruh ini bahkan lebih besar dari godaan rajanya setan sekalipun,” jelas lek Bagong memulai percakapan sembari menyusun lembaran uang dari hasil jasa parkirnya.
Ya, semenjak terpaksa menjual 5 ekor sapi dan beberapa hektare tanah warisan orangtuanya demi ongkos politik yang bahkan dengan modal sebanyak itu pun ternyata ambisinya harus kandas juga, sebab lawan politik lek Bagong ternyata lebih tajir melintir dan bahkan memiliki banyak sponsor.
Akhirnya, saat ini lek Bagong sahabat saya itu pun lebih nyaman jadi tukang partai. Maksud saya, tukang parkir kendaraan.
Bagi lek bagong, urusan mengatur keluar masuk serta merapikan barisan kendaran juga tidak ubahnya dengan profesi Dia sebelumnya sebagai salah satu aktor politik di Singkawang.
“Harus jeli, mana kendaraan yang mau parkir, mana yang mau segera jalan. Bahkan, untuk kendaraan mewah biasanya ada tips lebih,” tutur lek Bagong sambil menghisap panjang rokok kretek di jemarinya.
Lantas, saya bertanya bagaimana pengalaman sahabat saya ini soal mahar politik. Lek Bagong yang mulai meram melek ngantuk, karena kebetulan sering lembur menjelang diadakannya pesta rakyat tahunan dan otomatis ramai menyita perhatian maupun lalu-lalang kendaraan ini, kemudian kembali tampak bersemangat dengan pertanyaan saya barusan.
“Mahar itu ibarat merayu agar kau dapat restu. Sebelumnya kau harus silaturahmi, ta’aruf, anjangsana atau apalah itu namanya, barulah kau ijab kabul. Dalam politik itu semua ada ongkosnya, mana bisa gratis,” sebut lek Bagong.
Astaga, ternyata pengalaman politik lek Bagong sahabat saya ini sudah sejauh itu, pikir saya. Tapi bagaimana dengan ongkos yang sudah dikeluarkan. Untuk semua proses pendekatan, jika akhirnya justru tidak sesuai harapan, apa akan jadi hutang atau piutang atau bagaimana, tanya saya lagi.
“Urusan begini mana ada hutang piutang. Ini kan awalnya suka sama suka, nilai duitnya juga kesepakatan bersama. Mahar politik kalau dibawa ke hukum justru bikin malu semua. Ya, kalau kena angin bagus dikembalikan, tapi sebaiknya jangan berharaplah duitmu kembali,” tutur lek Bagong yang memang sempat jadi bakal calon di Pilkada beberapa waktu silam ini dengan nada santai.
“Andai disuruh sumpah pun, ya biasalah itu politik. Asal bukan sumpah pocong,” tandasnya lagi.
Bahkan, lanjut lek Bagong lagi, sembari lebih menggeser duduknya dan berbisik di telinga saya, Dia mengaku pernah dilamar dan dipasang untuk pura-pura jadi kontestan. “Loh kok bisa,” jelas saya sambil senyum dan garuk-garuk kepala.
“Iya, pura-pura, tapi diongkosin dan dibayar lumayan juga lho. Urusan pura-pura mana ada yang gratis,” jawab lek Bagong dengan raut serius.
“Kan cuma disuruh pura-pura. Disiapkan ongkosnya, ya udah, biar terkesan ada perlawanan gitu. Pemenangnya kan sudah ada, paham kau,” tuturnya sambil cengar-cengir.
Ah, di hati saya cuma bisa istighfar dengan tujuan agar terbebas dari gangguan jin dan setan yang sepertinya sudah mulai mengerubungi pikiran lek Bagong.
Saya pun lekas beranjak, bergegas meninggalkan lek Bagong yang dari kejauhan terlihat masih saja cekikikan sendiri ke arah saya sambil menggelengkan kepalanya. (Top)
Editor: Asri