Revisi RUU Penyiaran Menuai Polemik dan Sangat Mengganggu Pers

by -1,195 views
aksi penolakan ruu pers 2024
Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Aksi Jurnalis Aceh Bersatu meletakan peralatan kamera dan id card pers saat menggelar aksi di kantor DPR Aceh, Banda Aceh, Senin, 27 Mei 2024. Aksi Jurnalis dari Pewarta Foto Indonesia (PFI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Televisi Indonesia (AJTI) Aceh itu menolak secara tegas Revisi Undang Undang Penyiaran yang dapat membelenggu dan menghambat kinerja jurnalis khususnya dalam melaksanakan tugas investigasi untuk pemberitaan kepentingan publik. ANTARA FOTO/Ampelsa

REAKTIFNEWS.COM – Sejumlah pasal draf revisi UU Penyiaran yang disusun oleh Komisi I DPR RI terbaru versi Maret 2024 dinilai akan memberangus kebebasan pers dan merenggut hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi.
Proses perumusannya pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat atau pihak yang berkepentingan sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih aturan.

Sebagai informasi, RUU Penyiaran terbaru versi Maret 2024 mencantumkan pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dalam Pasal 50B ayat (2).

Selain itu, Pasal 50B ayat (3) mengatur sanksi bagi pelanggar, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).

Pasal 50B ayat (4) bahkan menyebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.

Pasal lainnya yang mengganggu yakni draf Pasal 8A huruf (q) disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Selain itu, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi KPI.

“Pembentukan hukum itu harus dilandaskan pada proses partisipasi publik yang bermakna, tidak asal-asalan ada draf dan merasa telah libatkan publik,” kata pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman dalam pesan tertulisnya, Senin, 3 Juni 2024.

Dia menjelaskan bahwa seharusnya polemik revisi UU Penyiaran tidak terjadi jika pembentuk undang-undang telah membentuk naskah akademik yang mendukung. Menurut dia, revisi undang-undang perlu memerhatikan urgensi sebagai dasar pertimbangan.

Naskah akademik, Herlambang menyampaikan, sangat penting untuk dibuka di ruang publik. Dia menegaskan pertanggungjawaban secara keilmuan menjadi bagian mendasar dalam mendorong pembaruan hukum yang lebih kuat.

Ahli hukum dan hak asasi manusia (HAM) itu juga menekankan jika proses keterbukaan ini tak terjadi, maka wajar bila publik menilai revisi UU Penyiaran berkhianat terhadap prinsip dasar negara hukum dan mematikan kebebasan pers.

Respon keras juga dilontarkan Rocky Gerung dalam akun Youtubenya terkait adanya larangan jurnalisme investigasi dimana yang cukup mengejutkan adalah alasan dari beberapa anggota DPR terutama di Komisi I karena katanya akan mempengaruhi proses yang sedang dilakukan oleh penegak hukum.

Roky mengatakan justru dengan bantuan wartawan maka skandal Watergate itu terbongkar. Justru dengan bantuan wartawan skandal-skandal penyadapan di Iran itu terbongkar. Justru dengan bantuan wartawan aktivitas penyadapan tokoh-tokoh oposisi melalui Pegasus itu terbongkar.

“Jadi sebetulnya jurnalisme itu membantu penegak hukum. Kan ngga ada jurnalisme investigasi yang menghalangi penegakan hukum,” ujar Rocky di akun Yotubenya, Selasa (14/5/2024).

“Jadi sebetulnya jurnalisme itu produktif sekali. Jurnalisme investigasi mau tertulis mau live mau segala macam itu tetapi yang penting adalah wartawannya ngerti dan pengertian wartawan itu tidak boleh dihalangi kan?,” tambahnya.

Reaksi serupa juga disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum dan Media Mohamad Syafi’ Alieha (Savic Ali).

Savic menekankan bahwa kerja jurnalistik adalah hak untuk mendapatkan informasi.

“Kalau isu itu berkaitan dengan publik, ya boleh dilaporkan (menjadi sebuah karya jurnalistik). Prinsipnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan publik itu boleh dilaporkan,” tegas Savic, Rabu (3/6/2024) lalu.

Savic menegaskan, fungsi pers adalah untuk menindaklanjuti masalah-masalah yang ada di masyarakat, terutama jika masalah tersebut serius dan melibatkan pidana.

“Polisi akan menindaklanjuti laporan jika ada, tapi fungsi pers adalah untuk mengungkap masalah yang mungkin belum dilaporkan,” kata Savic.

Ia menyatakan bahwa wewenang polisi untuk melakukan penyadapan dan intervensi terhadap masyarakat, sebagaimana diatur dalam UU Polri, juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak individu. “Apapun yang mencampuri kehidupan orang itu dosa besar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Savic mengingatkan bahwa sikap acuh terhadap pelanggaran hak-hak ini hanya akan merugikan masyarakat.
“Kita harus waspada dan bersuara jika kebebasan pers dan hak untuk mendapatkan informasi diancam,” pungkasnya. (RN/TIM)

Editor: Topan
Penulis: Endra Asri

No More Posts Available.

No more pages to load.