*Writer: T.W. Asri
Sejak awal kasus diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu,wabah Covid-19 mengoyak tanah air. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kemudian menetapkan status darurat bencana wabah hingga 29 Mei. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) juga memutuskan menghentikan kompetisi pada 18 Maret lalu. Saat itu tidak ada kepastian sampai kapan kompetisi disetop, bahkan hingga memasuki 2021 saat ini masih nihil.
Dampaknya bukan saja membuat sebagian besar insan sepak bola gantung sepatu, bahkan tidak sedikit pula stadion sepak bola layaknya bak tempat berhantu. Termasuk stadion Kridasana di Singkawang yang kondisinya tak terawat. Tapi Kridasana bukan satu-satunya stadion terbengkalai di Indonesia memang, ada banyak alasan stadion menjadi terbengkalai. Mulai dari utang-piutang, terputusnya alokasi dana Pemda/Pemkot, hingga kasus korupsi. Sekali lagi, ini bukan hal baru sepak bola di negeri ini.
Soal stadion akan dirawat termasuk Kridasana, dimungkinkan jika bisa menjadi tempat yang memadai untuk sebuah event, utamanya sepak bola. Saat banyak penonton yang hadir, ada alokasi dana untuk biaya perawatan.
Diketahui bersama pula, umumnya stadion di Indonesia dimiliki oleh Pemda. Klub hanya bertindak sebagai penyewa kepada dinas olahraga, pengelola stadion, atau Pemda/Pemkot. Artinya, tanggung jawab perawatan stadion berada di tangan pengelola atau instansi terkait. Ketika stadion tak digunakan lagi sebagaimana dalam kasus Stadion Kridasana, maka alokasi perawatan pun terhenti.
Lalu bagaimana upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Singkawang mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur sepak bola, mulai dari stadion atau tempat latihan lain yang memenuhi standar. Kemudian pembinaan sepak bola sejak usia dini dan bagaimana pembenahan total atas sistem dan tata kelola sepak bola di Kota Singkawang yang didalamnya termasuk pula pembinaan manajemen klub? *(Bersambung)