Intip Biaya Raih Kursi Dewan 2024, Nyaleg: Ada Duit Ndak Tu?

by -804 views
Ilustrasi pemilu 2024.
Ilustrasi: Pemilu 2024 (RN/Topan)

Singkawang, REAKTIFNEWS.com

Beberapa hari lalu, seorang teman yang menjadi aktivis kebijakan publik di Singkawang mem-posting foto diri di grup Whatsapp alumni SMA dan menyampaikan ingin maju menjadi salah satu calon legislatif 2024 dari salah satu daerah pemilihan (Dapil) khususnya untuk Kota Singkawang. Ramailah berbagai tanggapan dari member grup. Mayoritas memberikan apresiasi. Wah, mantap bro sudah saatnya mengabdi untuk masyarakat; Cari partai yang bener, yang memiliki track record yang bisa diterima masyarakat; Ayo semangat nanti kita dukung bersama-sama. Dan, masih banyak lagi komen yang lainnya.

Tiba-tiba di antara sekian banyak komentar, ada celetukan komen terakhir yang membuat saya tergelitik. Komen yang sangat berbeda; ia memberikan tanggapan, dan begini katanya: Ada duit ndak tu, berani nyaleg? Jangan lupa ya disiapin amplopnya buat hari H pemilihan. Diakhiri dengan emoticon senyum sinis.

Sontak grub menjadi hening. Sepertinya uang dan amplop dalam komentar akhir itu benar-benar menohok seisi grup. Tak disangka berbagai apresiasi, motivasi, dan kebersamaan kami sesama alumni seperti hampa tertiup angin kemarau. Pembicaraan yang penuh semangat berubah menjadi kering kerontang kehilangan greget.

Pemilu 2024 Mulai Hangat

Lebih kurang menyisakan 9 bulan mendatang, perhelatan Pemilu 2024 bakal dimulai, kasak-kusuk dan pembicaraan-pembicaraan di berbagai tempat dan media terkait calon-calon yang bermunculan mulai ramai diperbincangkan. Rutinitas lima tahunan pergantian kekuasaan kembali mendapatkan momennya.

Terkait dengan hingar-bingarnya Pemilu, saya banyak mendapatkan cerita dari temen-temen dekat yang sempat terlibat dalam pencalonan saat perhelatan Pemilu 2019 lalu, khususnya terkait bagaimana mahalnya menjadi Calon Legislatif (Caleg). Kebetulan ada satu dua kenalan saya juga yang sukses meraih kursi legislatif dan banyak juga diantaranya yang KO (gagal), sehingga saya banyak memiliki referensi soal pencalegan pada 2019 yang lalu.

Teman dari salah satu partai berbasis massa Nasionalis misalnya menceritakan, dia telah mendapatkan nomor urut dari partai. Namun masalah sebenarnya menurutnya bukan nomor urut, tetapi bagaimana menyiapkan berbagai kebutuhan kampanye dan atributnya. Memang partai ada bantuan, tetapi bantuan tersebut tidak cukup untuk meng-cover kebutuhan.

Akhirnya teman saya itu menjual satu-satunya tanah warisan yang dimiliki untuk menutup kebutuhan kampanye dan atribut. Dengan harapan tinggi, berjuanglah ia. Apakah dia menjadi anggota legislatif dan meraup suara banyak? O, tidak…dia gagal dan pada akhirnya menyesal karena kehilangan tanah keramat warisan dari orangtua.

Ada lagi teman dari partai berbasis agamis yang sangat bersemangat dan memiliki ekspektasi yang tinggi menjadi anggota legislatif. Tanpa memperhitungkan isi kantong, ia meminjam uang sana-sini untuk mengejar popularitas. Ia melakukannya karena termasuk orang baru di partai dan baru memulai nyaleg. Dan, apakah dia jadi? Ternyata upaya yang dilakukan belum memberikan hasil, justru setelah pemilu dia pusing harus menanggung utang yang harus dibayar.

Bahkan ada juga teman yang bermodal nekat; dengan keterbatasan yang dimiliki ia berinisiatif membuka donasi dalam rangka mengumpulkan dana pencalegan. Bergeraklah ia bikin konsep pemenangan dan janji-janji kampanye, nanti jika menjadi anggota dewan akan melakukan ini dan itu bla bla bla. Apakah dia berhasil? Dari sekian banyak orang dan lembaga yang dilobi ternyata nihil tak sesuai harapan. Dan, apakah dia menjadi anggota legislatif? Tentu saja tidak. Setelah tak banyak yang merespons program donasinya, ia melupakan kampanye dan ia frustrasi karena tak mampu mencetak atribut.

Saya pun pernah diminta bantu teman mencari sponsor yang mau membayari proses pencalegan. Saya paham pola dari kerja sponsor alias bandar ini; dengan membiayai caleg, nanti setelah caleg mendapatkan kursi, bandar atau sponsor ini akan meminta balik uang yang telah diberikan atau mengkonversi dengan pekerjaan-pekerjaan di berbagai dinas/instansi. Apakah teman yang ini jadi legislatif? Ternyata juga tidak. Sangat sulit mencari bandar atau sponsor dengan persyaratan yang pastinya tidak mudah bagi caleg.

Jika diingat-ingat, saya tergelitik dan merasa trenyuh atas nasib teman-teman saya yang gagal menjadi anggota legislatif. Mungkin kegagalan ini juga dirasakan banyak Caleg yang lain. Menurut saya, kegagalan mereka bukan karena tak paham politik, tak mengerti strategi pemenangan, dan bagaimana cara menang. Namun lebih disebabkan karena tak punya cukup amunisi, saking mahalnya biaya Caleg.

Kegagalan tersebut sering menjadi gurauan antar kami, ibaratnya “otak nyampai, tapi kantong tak mendukung”.

Kebutuhan Riil Caleg

Tak gampang menjadi anggota legislatif. Begitu banyak syarat yang harus dipenuhi. Syarat administratif biasanya menjadi syarat yang paling mudah. Namun setelah syarat administratif, beruntun menyusul syarat-syarat yang tak mudah.

Pertama, syarat mendapatkan nomor Caleg. Nomor Caleg yang menentukan adalah internal partai. Setiap partai memiliki kriteria tersendiri bagi caleg-calegnya. Seleksi ini tak mudah karena perebutan nomor urut menjadi krusial, nomor-nomor atas biasanya menjadi rebutan. Urutan nomor caleg ini selain faktor prestasi, incumbent juga menjadi penentu. Selain ada faktor-faktor politis lain yang menjadi pertimbangan partai.

Jika telah lolos dan mendapatkan nomor, caleg harus mempersiapkan diri dengan berbagai model kampanye dan penyiapan atribut yang dituntut persiapan dana. Di sini akan terlihat mana Caleg yang siap dan tak siap. Persaingan kampanye, kekuatan atribut, dan strategi pemenangan mulai berlangsung. Meskipun di internal partai tetapi persaingan tetap terjadi, dan biasanya nanti keputusan terakhir di tangan partai.

Setelah nomor didapatkan, akan ada masa kampanye. Sebelumnya kampanye berlangsung biasanya disiapkan tim sukses. Jumlahnya tergantung, yang pasti tak sedikit jumlahnya. Area daerah pemilihan Dapil dan jumlah suara yang ditargetkan menjadi ukuran berapa besar dan banyak tim sukses yang dibutuhkan dan berapa lama durasi tim sukses harus bekerja. Yang pasti tim sukses ini membutuhkan banyak dana karena melibatkan banyak orang yang harus dibiayai.

Selanjutnya adalah pertempuran Caleg dengan semua Caleg partai peserta Pemilu. Ini juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. Iklan, kampanye langsung ke pemilih, baliho dalam ukuran besar yang tentunya berbiaya mahal terpampang di mana-mana. Di situ akan terlihat mana Caleg yang benar-benar siap terlihat di berbagai iklan, foto di mobil kampanye berseliweran dan baliho yang muncul di mana-mana di pinggir jalan.

Menjelang hari H, Caleg masih disibukkan dengan penyiapan saksi di area pemungutan suara. Saksi ini bertugas menjaga suara Caleg agar suara tidak hilang. Tentu untuk urusan saksi ini pun membutuhkan banyak dana, karena Caleg harus menyediakan uang transport dan komunikasi para saksi.

Gongnya adalah ‘amplop’. Burhanuddin dkk (2019) merilis, dalam Pemilu 2019 sebanyak 19,4 persen hingga 30,1 persen pemilih terlibat politik uang. Hasilnya, Indonesia menjadi juara ke-3 peringkat pelaku politik uang di dunia. Dan, kesimpulannya, praktik politik uang menjadi hal normal dan biasa dilakukan dalam tradisi politik kita.

Akhirnya, jika diurutkan, maka akan terlihat bagaimana proses, kalkulasi, dan berapa jumlah dana yang harus disiapkan seorang jika ingin menjadi anggota legislatif. Penuh perjuangan dan membutuhkan biaya tak sedikit memang. Bagi seorang Caleg yang siap dengan dana tentu ini hal mudah. Bagi seorang Caleg minim modal seperti teman-teman saya, besarnya biaya bagi Caleg justru menjadi batu sandungan dan masalah.

Begitulah biaya seorang Caleg jika berkaca pada Pemilu 2019 dari cerita teman-teman saya, yang ternyata tidak murah. Nah, apakah pada Pemilu 2024 biaya Caleg akan sama atau justru lebih mahal? (Top/RN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.